Perang Opini para Penasihat Hukum di Kasus Yahdi Basma

0
604
Yahdi Basma (Kiri) didampingi penasihat hukumnya usai pemeriksaan sebagai saksi dugaan penyebaran berita hoaks di ruang Dit Reskrimsus Polda Sulteng, Rabu (24/7). Foto: Ikram/PaluPoso

palu np – Kasus Gubernur Sulawesi Tengah yang mengadukan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah semakin menjadi menarik dan memancing perhatian banyak pihak, salah satunya mantan Hakim MK, Maruarar Siahaan. Secara garis besar, ia menyayangkan pemeriksaan oleh Polisi yang bisa dikategorikan melanggar UU MD3 (UU 17/2014) yang disempurnakan dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 dan UU Nomor 02 Tahun 2018 dan UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), bahkan UU Dasar 1945 Pasal 20A ayat 3.
Pernyataan Maruarar Siahaan tersebut disampaikan Anggota DPR RI Adian Napitupulu melalui keterangan tertulis yang diterima media ini, Minggu (18/8).
Bahkan untuk konteks Hak Imunitas Anggota DPRD kata Adian, sejumlah aturan lebih khusus juga mencantumkan hak tersebut secara normatif di batang-tubuh regulasi terkait. Yakni di Pasal 85 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. “Itu artinya, bahwa seluruh Tata Tertib DPRD di seluruh Indonesia, mutlak mencantumkan Hak Imunitas sebagai salah satu hak yang melekat bagi anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Sekali lagi, DPRD seluruh Indonesia, tanpa kecuali, dimana Tatib DPRD adalah panduan paling spesifik bagi prilaku dan pelaksanaan kinerja anggota DPRD,” kata Anggota Fraksi PDIP DPR RI ini.
Menurutnya, anggota DPR baik pusat maupun daerah secara tegas di lindungi oleh UUD 1945 dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya, salah satunya fungsi pengawasan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana seorang anggota DPR dapat menjalankan fungsi pengawasannya jika tidak dibekali hak imunitas. Tanpa hak imunitas maka fungsi tersebut tidak bisa dijalankan maksimal, karena selalu di bayangi ancaman hukuman, apalagi lewat UU ITE yang karet dan kontroversial itu.
“Tentulah, salah satu obyek fokus pengawasan DPR dan DPRD adalah pengelolaan uang rakyat yang dikelola oleh Pemerintah (Pusat) maupun Pemerintah Daerah,” ujarnya.
Dalam kasus Yahdi Basma lanjutnya, ia merupakan satu dari 45 orang anggota DPRD Sulawesi Tengah yang harus ikut mengawasi hampir Rp 4 Triliun APBD, ratusan miliar rupiah dana bantuan bencana alam bahkan lebih, hingga potensi sumber daya alam Sulawesi Tengah yang sangat besar, dari perkebunan, tambang, perikanan dan sebagainya.
Ketika fungsi pengawasan itu dilemahkan dan anggota dewan pusat maupun daerah tidak lagi terlindungi dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya, maka jangan heran jika uang yang harus nya menjadi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan bagi rakyat, berubah menjadi rumah megah dan mewah, menjadi cincin, kalung, gelang berlian, jejeran mobil mewah pejabat dan keluarga. “ Jangan kaget dan heran jika uang rakyat yang harusnya menjadi jalan, subsidi pupuk, benih, menjadi buku dan seragam sekolah berikutnya habis dalam gemerlapnya hiburan malam,” kata Adian.
Banyak rakyat yang mengeluhkan lemahnya pengawasan anggota Dewan dalam bidang hukum, sosial, ketenagakerjaan dan sebagainya. Banyak tuduhan bahwa anggota dewan lebih sering bermain mata dengan yang diawasi, dibandingkan secara sungguh-sungguh mengawasi. Itu tidak bisa di pungkiri walaupun tidak juga bisa digeneralisir. Justeru menurut Adian, anggota dewan yang main mata dan tidak melakukan pengawasan itu yang seharusnya dipersalahkan bukan, malah sebaliknya.
“Hari ini, banyak mata dan telinga sedang menunggu hasil akhir kasus Yahdi, karena di kasus ini dua Undang-undang dan sebuah Konstitusi kita, UUD 1945, sedang diuji supremasinya, diuji wibawanya. Dalam kasus ini, Kepolisian RI juga sedang diuji, sejauh mana mereka menegakkan Konstitusi dan UU,” ujarnya.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola (kiri) bersama Kapolda Sulteng Brigjend Pol Lukman Wahyu Hariyanto saat menuju kantor Direktorat Reserse Kriminal Khusus di Markas Polda Sulteng, Jumat (5/7). Foto: PaluPoso
Adian Napitupulu Dinilai Dualisme Sikapi Hoaks YB
Pengacara Gubernur Sulteng Edmond L Siahaan menanggapi pembelaan Anggota DPR RI, Adian Napitupulu terhadap tersangka dugaan kasus hoaks Anggota DPRD Sulteng, Yahdi Basma (YB). Pembelaan Adian itu terkait hak imunitas anggota DPRD yang mengglorifikasi mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan.
“Sebenarnya saya tidak mau menanggapi pernyataan-pernyataan Adian Napitupulu dan kawan-kawannya tentang Hak Imunitas. Biarlah mahasiswa semeter akhir Untad yang menjawabnya. Tapi karena berulang kali Adian Napitupulu dan kawan-kawannya mengglorifikasi hak imunitas yang saat ini telah menjadi tersangka penyebaran hoaks, seakan-akan itu adalah tugas dan tanggungjawab Anggota DPRD,” kata Edmond melalui keterangan tertulis, Senin (19/8).
Dalam sejumlah pemberitaan kata Edmond, Adian kerap mengutip pandangan Maruarar Siahaan yang juga masih tetap ngotot dengan pandangannya soal hak imunitas. Edmond menilai, baik Adian maupun Maruarar, jelas tidak memahami duduk perkara tindak pidana yang terjadi.
“Saya yakin informasi yang diterima Maruarar Siahaan tidak utuh atau tidak lengkap. Bisa juga sengaja diberi informasi yang tidak utuh,” ujarnya.
Atau bisa jadi, Maruarar tidak diberi tahu adanya surat Kementerian Dalam Negeri Nomor: 161.72/3806/OTDA yang ditujukan kepada Kapolda Sulteng ditandantangani oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Drs. Akmal Malik, M.Si tertanggal 17 Juli 2019.
Edmond mengaku tidak akan menjelaskan argumentasi dari berbagai Peraturan Perundang-undangan yang mereka eksploitasi secara serampangan itu. Sebab dalam Surat Kemendagri sudah dijelaskan seluruh Undang-undang, peraturan pemerintah (PP) sampai dengan tata tertib DPRD yang digaung-gaungkan Adian Napitupulu sudah tidak berlaku lagi.
“Tapi mereka selalu mengglorifikasi kasus penyebaran hoaks ini seakan-akan bagian dari tugas dan wewenang YB sebagai Anggota DPRD Sulteng,” kata Edmond.
Edmon menilai seorang Adian Napitupulu sadar bahwa UU ITE adalah undang-undang yang penuh dengan “pasal karet”.
“Sudah sejauh mana perjuangan Adian untuk mengubah UU ITE ini? Pada kasus yang lain, kesannya mereka bersorak-sorai atas pengenaan UU ITE ini pada lawan-lawan politiknya,”ujarnya.
Pada kasus YB, Adian lanjutnya mendramatisir keadaan seakan-akan sebagai korban. Bahkan mengglorifikasi kasus penyebaran hoaks ini sebagai tugas dan wewenang Anggota DPRD Provinsi Sulteng.
Adian Napitupulu kata Edmon, harusnya sepenuh hati mendukung Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bukannya mempertontonkan dualisme sikap dalam kasus penyebaran Hoaks yang dilakukan YB. Dengan tidak mempercayai Surat dari Kemendagri tersebut.
“Kalau begini cara-cara pendukung Jokowi bersikap: mengajak masyarakat tidak mempercayai Kemendagri dan lain-lain. Maka sudah pasti akan menjadi api dalam sekam dalam pemerintahan 5 tahun yang akan datang,” katanya.
Kondisi demikian justru terjadi ketika masyarakat mulai semakin sadar akan pentingnya penegakan hukum yang adil, dimana semua sama di hadapan hukum. Namun ironisnya ada mantan aktivis dan organisasi aktivis yang konon berperan penting dalam menumbangkan Rezim Orde Baru (Orba), yang masih menuntut adanya perlakuan khusus dengan Imunitas Hukum.
Bagaimana mungkin seorang tersangka penyebaran Hoaks harus dilindungi dengan imunitas hukum.
“Kenapa Adian Napitulu tidak berteriak juga soal Imunitas Hukum ketika Setnov dan beberapa Anggota DPR RI kena OTT KPK? Bukannya mereka juga layak mendapatkan Imunitas Hukum?,” tanya Edmond.
Selanjutnya Edmond kembali mendesak Polda Sulteng segera mengenakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 yang berbunyi “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”.
Tindak pidana penyebaran hoaks yang dilakukan tersangka YB dilakukan dengan keadaan sadar dan pengetahuan yang cukup bahwa akibat dari perbuatan pidananya tersebut akan menimbulkan keonaran pada masyarakat luas, keresahan dan kekhawatiran pada masyarakat.
Polda Sulteng juga harus mengenakan Juncto Pasal 45A ayat (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1milyar.
Karena dalam kasus ini ada media cetak lokal Sulteng yang menjadi korban sehingga kepolisian juga perlu mengenakan Juncto dengan pasal ini terhadap pelaku.
“Setelah menambahkan pasal-pasal diatas, saya mendesak Polda Sulteng untuk segera melakukan penahanan kepada TSK YB untuk memudahkan proses hukum. Karena TSK YB sampai saat telah ditetapkan sebagai Tersangka dan keluar surat dari Kemendagri RI, tetap mengglorifikasi isu Hak Imunitas di masyarakat luas lewat media massa dan media sosial,” kata Edmond.
Iapun mendesak Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Sulteng segera memutuskan dalam Sidang BK bahwa TSK YB harus diberhentikan sebagai Anggota DPRD Periode 2014-2019.
“Sekaligus mendesak BK tidak melantiknya untuk Periode 2019-2024 karena sudah pasti YB akan ditahan setelah Polda Sulteng memperbaiki pasal-pasal yang akan dikenakan saat ini. Akhirnya saya mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke 74 mari bebaskan negeri ini dari hoaks yang memecah NKRI! Merdeka dari Hoaks!,”demikian Edmond.. (kumparan)


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here