Aparat Penegak Hukum Diminta Tambahkan Pasal 28 UU ITE dan UU No 1/1946 dalam Kasus YB

0
669
Srikandi Forum Rakyat Anti Hoaks Sulawesi Tengah (Sulteng), Beatrix Luciana Tambing atau akrab disapa Uchy Tambing (kiri kacamata).( F-ist)

PALU, NP – Srikandi Forum Rakyat Anti Hoaks Sulawesi Tengah (Sulteng), Beatrix Luciana Tambing, berharap aparat penegak hukum yang menangani kasus dugaan penyebaran hoaks beraroma fitnah, untuk menelaah kembali isi Pasal yang disangkakan kepada Yahdi Basma (YB). Jangan sampai ada ketimpangan didalamnya.
“Sebab, ada hal yang seolah diabaikan para aparat penegak hukum, yakni ujaran kebencian dan provokasi. Dalam postingannya, sangat nampak jika YB berupaya menggiring opini publik dan melakukan pembunuhan karakter. Selain menyebar foto koran hoaks, YB juga membumbuinya dengan kalimat miris, muak, dan lain-lain. Dimana di dalamnya, terkandung unsur ujaran kebencian dan provokasi,” kata Uchy Tambing sapan akrabnya, melalui rilis yang dikirim via pesna di whtshapp, kemarin.
“Bunyi Pasal 28 ayat 2 UU ITE itu sendiri menyebut, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” tambah Uchy Tambing.
Karena pasal 28 ayat 2 ITE, merupakan pasal paling kuat bagi tindak pidana penyebaran kebencian di dunia maya, di banding pasal-pasal pidana lainnya. Maka, jelas Uchy, penggunaan pasal 28 ayat 2 ITE, Lebih tepat disangkakan kepada Yahdi. Karena lebih spesifik serta menyasar penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya. Dibandingkan UU lainnya.
“Salah satu contoh kasus adalah Florance, silahkan cari di google untuk detail kasusnya. Mahasiswi Kenotariatan Universitas Gadjah Mada itu dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 1, dan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang ITE. Dimana, pasal-pasal ini mengatur tentang penghinaan, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan individu atau kelompok. Bagian mana termuat ujaran kebencian? Tentu pada kata ‘miris dan muak’. Bagian mana yang mengandung unsur provokasi? Yaitu pada kata ‘masih bagus beliau biayai’. Kepada siapa/kelompok mana sasaran provokasinya? pada kalimat ‘bagi puluhan ribu korban bencana pasigala’. Nah, bukankah ini sangat jelas semuanya? Bahkan, jika lebih spesifik, UU No 1 tahun 1946, tentang potensi menimbulkan keonaran,” ungkap Uchy lagi.
Dia pun memohon kepada aparat penegak hukum, untuk membantu masyarakat Sulteng, dengan memberikan pelayanan terbaik. Agar menerapkan dasar penerapan hukum yang maksimal. Sehingga, harmonisasi tatatan bermasyarakat di wilayah Sulteng, tetap terjaga.
“Mohon bantu kami, agar proses hukum ini menjadi contoh terbaik di Sulteng. Agar efek jera maksimal tercapai, tidak berkembang biak. Sehingga, budaya santun dan beretika khas masyarakat Sulteng, tetap terjaga. Bayangkan, bila kasus hoaks disertai ujaran kebencian dan provokasi yang menimpa orang nomor satu sekaligus Tomaoge (orang dihormati/dituakan) dan dibanggakan serta disayangi masyarakat Sulteng ini, kasusnya tidak memberikan efek jera? Bagaimana kita bisa berharap, harmonisasi ini masih terjaga?” jelasnya.
Bukan tidak mungkin, perubahan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakt Sulteng, yang selama ini mengohormati orang tua, bertutur dan bersikap yang santun, perlahan akan terkikis. Dan ketika menyebar kebohongan, menebar kebencian dan memprovokasi, dianggap hal biasa, maka yang berkembang biak adalah adab yang tidak berpegang lagi pada budaya leluhur Sulteng yang santun dan beretika.
“Kepada aparat penegak hukum. Bapak dan Ibu Jaksa, kepada kalian kami memohon, bantu kami untuk menyelamatkan generasi Sulteng, dari hal2 yang tidak sesuai adab, budaya serta kebiasaan kami. Please, objektiflah. Jika dapat, tambahkan Pasal 28 dan pasal terkait lainnya, kepada sang tersangka! Buktikan kepada kami, bahwa hoaks adalah musuh bersama. Karena itu dapat merusak NKRI, berlaku secara nasional, tidak hanya dipusat,” pintanya.
Tindakan yang dilakukan tersangka Yahdi Basma, bila dibiarkan akan memberikan contoh yang tidak baik. Terlebih, sang tersangka adalah seorang wakil rakyat yang harusnya teliti dalam menelaah sesuatu. Pastikan dulu kebenarannya secara tepat.
“Orang nomor satu di Sulteng saja menjadi korban hoaks, tapi pasal yang dikenakan tidak maksimal. Bagaimana bila ada masyarakat biasa yang mengalami hal serupa? Apa yang dilakukan YB, juga bukan klarifikasi atau menasehati. Klarifikasi kok disisebar kesana kemari dengan dibumbui kalimat yang terkandung makna ujaran kebencian?” ujar Uchy.
Diapun mengutip ungkapan bijak yang dikeluarkan oleh Imam Syafie, yang berbunyi, “Sesiapa yang menasehatimu secara sembunyi-sembunyi, maka ia sungguh-sungguh menasehatimu. Sesiapa yang menasehatimu di khalayak, sesungguhnya sedang menghinamu. Bukankah fitnah juga lebih kejam dari pada pembunuhan?”
Sebelumnya, Sebagai tersangka Yahdi Basma (YB) memposting di akun FB nya, yang tertulis :
Haaa?
“Ada kepala daerah biayai people power di Sulteng?
JIKA BENAR…
Miris, … Muak…!
Masih lebih bagus beliau biayai :
1. Buka puasa, sahur, dll
2. Biayai jelang persiapan Idul Fitri 1440 H-2019-M, yg tdk lama lagi…
Bagi puluhan ribu Korban Bencana PASIGALA yg sampai saat ini masih tersebar di banyak shelter Pengungsian, hidup di dalam tenda-tenda yg sudah koyak & sekian kali berganti terpal.
“Postingan status YB inilah yang membuat masyarakat yang tergabung dalam Forum Rakyat Anti Hoax (FRAH) Sulteng melakukan aksi yang kedua kalinya, dan meminta aparat penegak hukum bersikap adil dan bijaksana dalam menangani kasus ini, yang dianggap sudah sangat mencederai nama baik Bapak Longki Djanggola, sesepuh dan orang tua kami di daerah ini, “ tandas Uchy. (NP)


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here