PARIMO, nuansapos.com – Beberapa hari ini telah beredar beberapa surat wasiat dari Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu terkait ‘pemberhentian’ sejumlah pejabat eselon II sebelum waktunya.
Terbitan surat ‘pemberhentian’ itu ternyata mendapat beragam komentar dari berbagai kalangan, terutama untuk kalangan yang tergabung dalam satu WA grup yang didalamnya tercatat banyak mantan pejabat yang sudah purnabakti.
Tercatat ada lima nama pejabat esselon II dari tujuh nama yang belum sampai waktunya purnabakti namun sudah diberikan surat ‘wasiat’ pemberhentian, yaitu Jhoni Tagunu, Kamiludin Passau, Hadi Safwan, Irfan Maraila, Heni Borman.
Empat nama pejabat yaitu Kamudin Passau, Jhoni Tagunu, Heni Borman dan Irfan Maraila akhirnya melakukan konferensi pers bertempat di Aula Kantor Perpustakaan daerah, Selasa (14/2/2023) pukul 11.10 Wita.
Menurut Kamiludin Passau, surat pemberhentian dari Bupati telah diterima tertanggal 13 Pebruari 2023. Dan ini juga memiliki selisih waktu selama tiga hari. Artinya ada kesempatan lagi selama dua hari kedepan berbenah diri.
Timbul pertanyaan, apa dosa dan salah kami sehingga telah diterbitkan surat ‘pemberhentian’ ini. Sedangkan untuk masa purnabakti masih beberapa bulan kedepan.
“Sebenarnya kami tidak keberatan di nonjobkan oleh Bupati. Namun hal itu perlu kajian mendalam sepanjang ada regulasinya yang sesuai aturan lengkapnya. Sementara dasar pemberhentian ini tidak sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah. Dan ini sangat ‘zolim’ artinya jangan sesuatu itu dipaksakan” tegasnya.
Dirinya berharap, semoga informasi ini akan cepat di dengar komisi ASN, karena pihaknya ‘dibantai’ tidak sesuai prosedural hukum yang berlaku. Semoga juga hal ini tidak terjadi dikemudian hari. Cukup dirinya yang merasakan, tekannya.
Senada, Heni Borman selaku pejabat eselon II yang menerima surat wasiat itu mengakui jika kehadirannya dalam jumpa pers tak lain untuk memberikan klarifikasi terkait munculnya informasi sejumlah pejabat eselon II di Non Aktifkan tanpa ada kesalahan.
Menurutnya, setiap Jabatan dipundak yang berubah pasti disambut ikhlas. Tapi keikhlasan yang bagaimana kata Heni, sedangkan nyawa saja bisa diambil, tapi caranya ini yang tidak sesuai dengan makna aturan perundang-undangan berlaku.
Disinilah terlihat seperti ada ketidak-adilan nya sambung Heni, karena yang di inginkan bagi pejabat yang memasuki masa pensiun harusnya tidak dengan cara ‘pemaksaan’…!!!setidaknya di ikuti sesuai tanggal lahirnya.
“Kita tidak menikmati kenaikan pangkat istimewa karena sepertinya ada unsur pemaksaan sehingga terdapat multitafsir bagi yang mendengarnya” jelas mantan Asisten Bupati ini.
Terus terang, sebagai pribadi tentu merasa terzolimi. Apa lagi anak dan cucu yang mendengar hal ini pasti akan merasa terpukul. Timbul pertanyaan, apakah telah terjadi hal ‘buruk’ saat melaksanakan amanah sebagai esselon II selama ini ?
Hal inilah yang menjadi buah ‘tinta merah’ bagi kerabat dan saudara serta anak dan cucu saya, ujarnya dengan nada kesal.
Sementara, Irfan Maraila berkisah lain lagi. Menurutnya untuk kasus ini ada perbedaan sedikit, dimana kejadian sebagai penerima surat wasiat ‘pemberhentian’ tertanggal 31 Desember 2022 ada acara takbir Akbar malam pelepasan tahun. Disitulah dirinya mendengar langsung bahwa namanya tergantikan sebagai pimpinan OPD.
“Bahkan anak dan istri merasa kaget saat pelaksanaan takbir Akbar mendengar pernyataan soal tergantikan posisi sebagai Kepala OPD. Artinya apa yang dilalui itu secara psikologis sangat menyakitkan, karena ditengah keluarga selalu pertanyakan soal pemberhentian itu, ungkapnya.
Padahal selama bertugas 29 tahun sebagai ASN, baik di level provinsi maupun di kabupaten Parimo itu merasa tidak pernah terdapat kesalahan.
“Seharusnya pada saat masuk pensiun tahun kedepan masa jabatan 30 tahun setidaknya berdampak positif ditengah keluarga harus ada, namun saat ini kami hanya pasrah” terangnya.
Namun jika diberhentikan sebagai pejabat Pratama, harusnya ada aturan mainnya sehingga desakan pemberhentian ini tidak rancu ditengah masyarakat. Soal kebijakan adalah hak kewenangan pengguna, namun tidak secara ‘naif’ dengan mengeluarkan surat pemberhentian ini.
“Supaya permasalahan ini jangan lagi terjadi kepada adik-adik kami dimasa akan datang, sehingga dengan adanya konferensi pers seperti ini diharapkan agar masyarakat memahami dan mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
Kita dinonjobkan ini bukan karena persoalan dugaan korupsi atau lainnya” kata mantan Kepala Bappeda ini.
Bahkan salah seorang putra daerah Parimo Jhoni Tagunu juga masuk dalam daftar ‘pemberhentian’ pejabat Pratama eselon II sehingga dirinya merasa keberatan atas diterbitkannya surat pemberhentian, sementara usia masih jalan 57 tahun.
“Saya kaget dengan surat pemberhentian sebagai kepala OPD tanpa didasari apa kesalahan saya” ujarnya.
Setidaknya dalam hal PNS diberhentikan dengan hormat harus ada bahasa mengundurkan diri dari jabatan, diberhentikan sebagai PNS, diberhentikan sementara sebagai PNS, menjalani cuti suara tanggungan negara, menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan, ditugaskan secara penuh duar JPT, terjadi penataan organisasi atau tidak memenuhi persyaratan jabatan.
“Ini semua tidak tertuang kedalamnya sehingga kami yang menerima SK pemberhentian ini menjadi bingung dan perlu pengetahuan yang jelas lagi” tutup Jhoni. (**)
Penulis : Sumardin (Pde)