Koalisi Bukan Periuk Nasi

0
902

Oleh: Januari Sihotang SH LLM

Pasca Putusan MK terkait PHPU Pil­pres dan pe­ne­tapan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Pre­siden RI masa bakti 2019-2024, ternyata keriuhan politik belum juga berakhir di negeri ini. Ibarat tentara yang baru pulang dari pertempuran, para pemenang kini sibuk berpesta pora dengan mem­bagi-bagi rampasan perang.
Partai politik yang tergabung dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf semakin sibuk memperbincangkan berapa kursi yang menjadi bagiannya. Uniknya, keriuhan tersebut ternyata tidak hanya melibatkan pihak pemenang. Beberapa partai politik yang kalah dalam perhelatan Pilpres juga masih kelihatan malu-malu untuk ber­sikap, apakah akan bergabung dengan koalisi atau berposisi di luar peme­rintahan (oposisi). Bahkan dengan dalih rekonsiliasi, kursi kabinet pun dijadikan sebagai alat penawar. Hingga tulisan ini dibuat, sepertinya masih hanya PKS yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi hingga 5 tahun ke depan.
Berbagai aspek pun dijadikan dasar pertimbangan untuk penentuan pem­ba­gian kursi kabinet. Mulai dari besaran per­olehan kursi di parlemen (DPR) hingga besaran keringat yang dikucurkan partai politik bersangkutan selama kam­panye Pilpres. Kepemilikan media, kede­katan dengan ormas tertentu hingga militansi kader juga tidak luput dari pertimbangan.
Keriuhan ini memang sudah dipre­diksi dari awal. Mengutip Juan Linz dalam bu­­ku­nya The Peril of Presi­dentia­lism, koa­lisi seolah-olah sudah menjadi kenis­­ca­yaan dalam negara yang me­nga­nut sistem presidensial, namun dibingkai de­ngan sistem multipartai. Logikanya se­derhana saja, dalam bingkai sistem multipartai, maka akan sangat sulit bagi partai mana­pun menjadi mayoritas tunggal di parle­men, termasuk partai presiden terpilih.
Padahal, dalam sistem presidensial, Presiden tidak bisa berdiri sendiri dalam mengelola pemerintahan. Ia mem­butuh­kan legacy dan legitimasi dari parlemen untuk memuluskan setiap kebijakannya. Hal ini hanya dapat terjadi jika terdapat dukungan mayoritas dari parlemen. Dengan demikian, tanpa koalisi yang kuat, maka ada kecenderungan presiden terpilih akan tersandera dan tidak mampu untuk menunaikan janji kam­panyenya akibat tidak mendapat duku­ngan mayoritas parlemen.
Pemerintahan Jokowi-JK sudah mera­sa­kan itu pada setahun pertama peme­rin­tahannya. Pemerintahan yang hanya di­dukung PDIP, PKB, Nasdem dan Ha­nu­ra (sekitar 46 persen) saat itu tidak mampu berbuat banyak. Maka sangat ma­suk akal, jika kemudian pemerintah mem­persila­kan Golkar, PPP dan PAN ber­sandar dalam pelukan koalisi pe­merintah.
Kondisi tersebut memang sedikit berbeda dengan saat ini. Koalisi Jokowi-Ma’ruf tidak lagi menjadi minoritas di parlemen. Untuk sementara (sebelum Putusan MK tentang PHPU Pileg), koalisi pemenang Pilpres 2019 mengua­sai sekitar 344 (59, 6 persen) kursi parl­emen. Jumlah itu lebih dari cukup untuk mendapat legacy parlemen dalam setiap kebijakan pemerintah.
Hanya, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf belum bisa bernafas lega. Tertutupnya peluang konstitusional bagi Jokowi untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden pada periode ketiga berpeluang besar menjadi salah satu titik pemicu rentannya perpecahaan dalam koalisi. Masing-masing partai politik mulai sekarang sudah berusaha memunculkan kader maupun ketua umumnya untuk menjadi capres/cawapres tahun 2024. Sehingga besar kemungkinan, parpol koalisi akan selalu berusaha mencari simpati rakyat dengan mendukung penuh kebijakan-kebijakan populis pemerintah.
Situasinya tentu akan berbanding terbalik jika terdapat kebijakan peme­rintah yang tidak populis. Padahal, dalam satu periode pemerintahan sudah barang tentu tidak mungkin semua kebijakan bersifat populis. Kenaikan BBM, tarif dasar listrik, tiket pesawat dan tarif tol akan berpeluang menjadi faktor-faktor parpol koalisi berseberangan dengan pemerintah.
Kondisi demikian sudah pernah terjadi di masa pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono. Kenaikan BBM dan ka­sus Bank Century telah melahirkan be­berapa parpol yang menggunakan ‘po­li­tik muka dua’. Agak aneh memang ka­rena parpol koalisi pemerintah justru me­nentang kebijakan pemerintah sen­diri. Situasi seperti ini memang akan sa­ngat sulit bermuara kepada pem­ber­hen­ti­an (impeachment) presiden/wakil presiden.
Pasal 7-7B UUD NRI Tahun 1945 sudah mendesain betapa sulitnya meng-impeach presiden/wakil presiden di Indonesia. Namun, perlu diketahui peme­rintahan yang terlalu banyak dihujani interpelasi dan angket akan menye­babkan pemerintah tidak produktif. Negara ini kembali akan disuguhi teater-teater politik dengan dalih melaksanakan fungsi pengawasan parlemen, namun sangat jarang berkontribusi positif dalam berjalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pe­me­rin­tahan Jokowi-Ma’ruf yang akan dilan­tik Oktober mendatang benar-benar mempertimbangkan keefektifan koalisi. Mengutip pendapat Denny Indrayana (Negara Antara Ada dan Tiada; 2007) dan Zainal Arifin Mochtar (Kompas; 2019), koalisi pas terbatas adalah solusi terbaik. Koalisi pas terbatas adalah koalisi mayoritas sederhana. Koalisi tidak terlalu gemuk, namun efektif. Pengalaman membuktikan, koalisi yang obesitas juga tidak terlalu baik karena akan menyulitkan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Untuk itu, diperlukan kejelian Jo­kowi-Ma’ruf dalam memilih teman koalisi. Sejalan dengan hal tersebut, pembentukan koalisi bukan lagi sekadar membahas siapa dapat berapa, namun lebih kepada apakah siapa layak untuk mendapat apa. Memang hal ini bukan masalah sederhana. Scot Mainwaring (1993) sejak lama sudah mengingatkan bahwa model koalisi yang dibangun dengan modal bagi-bagi kursi kabinet akan sangat sulit membentuk pemerin­tahan yang stabil.
Untuk mengantisipasi politik muka dua dalam koalisi, maka ada dua catatan yang perlu diperhatikan Jokowi/Ma’ruf. Pertama, perlu adanya koordinasi yang jelas dari pemimpin koalisi (presiden dan PDIP). Koordinasi harus disertai dengan kontrak politik yang tegas, termasuk sanksi bagi anggota koalisi yang mem­belot. Oleh karena itu, parpol yang memiliki tokoh dengan peluang besar menjadi capres 2024 harus dipertim­bangkan dengan ketat menjadi anggota koalisi. Keberadaannya bisa saja tidak menguatkan koalisi, namun justru duri dalam daging koalisi.
Kedua, diperlukan komitmen yang kuat dari para anggota koalisi. Sudah saat­nya parpol tidak menjadikan koalisi sekadar periuk nasi. Tempat menda­patkan gizi dan nutrisi. Kendati penga­laman sejarah Indonesia pasca reformasi belum pernah menuliskan lahirnya koalisi ideologis, namun setidaknya koalisi tidak boleh lagi terlalu pragmatis. Kesamaan platform juga harus menjadi prioritas, sehingga tidak sebatas bagi-bagi kursi kabinet dan jabatan publik lainnya. ***
Penulis adalah dosen hukum tata negara Universitas HKBP Nommensen Medan.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here