Oleh: Januari Sihotang SH LLM
Pasca Putusan MK terkait PHPU Pilpres dan penetapan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden RI masa bakti 2019-2024, ternyata keriuhan politik belum juga berakhir di negeri ini. Ibarat tentara yang baru pulang dari pertempuran, para pemenang kini sibuk berpesta pora dengan membagi-bagi rampasan perang.
Partai politik yang tergabung dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf semakin sibuk memperbincangkan berapa kursi yang menjadi bagiannya. Uniknya, keriuhan tersebut ternyata tidak hanya melibatkan pihak pemenang. Beberapa partai politik yang kalah dalam perhelatan Pilpres juga masih kelihatan malu-malu untuk bersikap, apakah akan bergabung dengan koalisi atau berposisi di luar pemerintahan (oposisi). Bahkan dengan dalih rekonsiliasi, kursi kabinet pun dijadikan sebagai alat penawar. Hingga tulisan ini dibuat, sepertinya masih hanya PKS yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi hingga 5 tahun ke depan.
Berbagai aspek pun dijadikan dasar pertimbangan untuk penentuan pembagian kursi kabinet. Mulai dari besaran perolehan kursi di parlemen (DPR) hingga besaran keringat yang dikucurkan partai politik bersangkutan selama kampanye Pilpres. Kepemilikan media, kedekatan dengan ormas tertentu hingga militansi kader juga tidak luput dari pertimbangan.
Keriuhan ini memang sudah diprediksi dari awal. Mengutip Juan Linz dalam bukunya The Peril of Presidentialism, koalisi seolah-olah sudah menjadi keniscayaan dalam negara yang menganut sistem presidensial, namun dibingkai dengan sistem multipartai. Logikanya sederhana saja, dalam bingkai sistem multipartai, maka akan sangat sulit bagi partai manapun menjadi mayoritas tunggal di parlemen, termasuk partai presiden terpilih.
Padahal, dalam sistem presidensial, Presiden tidak bisa berdiri sendiri dalam mengelola pemerintahan. Ia membutuhkan legacy dan legitimasi dari parlemen untuk memuluskan setiap kebijakannya. Hal ini hanya dapat terjadi jika terdapat dukungan mayoritas dari parlemen. Dengan demikian, tanpa koalisi yang kuat, maka ada kecenderungan presiden terpilih akan tersandera dan tidak mampu untuk menunaikan janji kampanyenya akibat tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen.
Pemerintahan Jokowi-JK sudah merasakan itu pada setahun pertama pemerintahannya. Pemerintahan yang hanya didukung PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura (sekitar 46 persen) saat itu tidak mampu berbuat banyak. Maka sangat masuk akal, jika kemudian pemerintah mempersilakan Golkar, PPP dan PAN bersandar dalam pelukan koalisi pemerintah.
Kondisi tersebut memang sedikit berbeda dengan saat ini. Koalisi Jokowi-Ma’ruf tidak lagi menjadi minoritas di parlemen. Untuk sementara (sebelum Putusan MK tentang PHPU Pileg), koalisi pemenang Pilpres 2019 menguasai sekitar 344 (59, 6 persen) kursi parlemen. Jumlah itu lebih dari cukup untuk mendapat legacy parlemen dalam setiap kebijakan pemerintah.
Hanya, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf belum bisa bernafas lega. Tertutupnya peluang konstitusional bagi Jokowi untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden pada periode ketiga berpeluang besar menjadi salah satu titik pemicu rentannya perpecahaan dalam koalisi. Masing-masing partai politik mulai sekarang sudah berusaha memunculkan kader maupun ketua umumnya untuk menjadi capres/cawapres tahun 2024. Sehingga besar kemungkinan, parpol koalisi akan selalu berusaha mencari simpati rakyat dengan mendukung penuh kebijakan-kebijakan populis pemerintah.
Situasinya tentu akan berbanding terbalik jika terdapat kebijakan pemerintah yang tidak populis. Padahal, dalam satu periode pemerintahan sudah barang tentu tidak mungkin semua kebijakan bersifat populis. Kenaikan BBM, tarif dasar listrik, tiket pesawat dan tarif tol akan berpeluang menjadi faktor-faktor parpol koalisi berseberangan dengan pemerintah.
Kondisi demikian sudah pernah terjadi di masa pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono. Kenaikan BBM dan kasus Bank Century telah melahirkan beberapa parpol yang menggunakan ‘politik muka dua’. Agak aneh memang karena parpol koalisi pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah sendiri. Situasi seperti ini memang akan sangat sulit bermuara kepada pemberhentian (impeachment) presiden/wakil presiden.
Pasal 7-7B UUD NRI Tahun 1945 sudah mendesain betapa sulitnya meng-impeach presiden/wakil presiden di Indonesia. Namun, perlu diketahui pemerintahan yang terlalu banyak dihujani interpelasi dan angket akan menyebabkan pemerintah tidak produktif. Negara ini kembali akan disuguhi teater-teater politik dengan dalih melaksanakan fungsi pengawasan parlemen, namun sangat jarang berkontribusi positif dalam berjalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang akan dilantik Oktober mendatang benar-benar mempertimbangkan keefektifan koalisi. Mengutip pendapat Denny Indrayana (Negara Antara Ada dan Tiada; 2007) dan Zainal Arifin Mochtar (Kompas; 2019), koalisi pas terbatas adalah solusi terbaik. Koalisi pas terbatas adalah koalisi mayoritas sederhana. Koalisi tidak terlalu gemuk, namun efektif. Pengalaman membuktikan, koalisi yang obesitas juga tidak terlalu baik karena akan menyulitkan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Untuk itu, diperlukan kejelian Jokowi-Ma’ruf dalam memilih teman koalisi. Sejalan dengan hal tersebut, pembentukan koalisi bukan lagi sekadar membahas siapa dapat berapa, namun lebih kepada apakah siapa layak untuk mendapat apa. Memang hal ini bukan masalah sederhana. Scot Mainwaring (1993) sejak lama sudah mengingatkan bahwa model koalisi yang dibangun dengan modal bagi-bagi kursi kabinet akan sangat sulit membentuk pemerintahan yang stabil.
Untuk mengantisipasi politik muka dua dalam koalisi, maka ada dua catatan yang perlu diperhatikan Jokowi/Ma’ruf. Pertama, perlu adanya koordinasi yang jelas dari pemimpin koalisi (presiden dan PDIP). Koordinasi harus disertai dengan kontrak politik yang tegas, termasuk sanksi bagi anggota koalisi yang membelot. Oleh karena itu, parpol yang memiliki tokoh dengan peluang besar menjadi capres 2024 harus dipertimbangkan dengan ketat menjadi anggota koalisi. Keberadaannya bisa saja tidak menguatkan koalisi, namun justru duri dalam daging koalisi.
Kedua, diperlukan komitmen yang kuat dari para anggota koalisi. Sudah saatnya parpol tidak menjadikan koalisi sekadar periuk nasi. Tempat mendapatkan gizi dan nutrisi. Kendati pengalaman sejarah Indonesia pasca reformasi belum pernah menuliskan lahirnya koalisi ideologis, namun setidaknya koalisi tidak boleh lagi terlalu pragmatis. Kesamaan platform juga harus menjadi prioritas, sehingga tidak sebatas bagi-bagi kursi kabinet dan jabatan publik lainnya. ***
Penulis adalah dosen hukum tata negara Universitas HKBP Nommensen Medan.