“Jaminan Pancasila dan UUD 45 tentang perlindungan hak bagi warga negara dan upaya-upaya Presiden Jokowi ditengarai tidak berlaku bagi seorang rakyat kecil. Yang terjadi justru adalah perampasan hak, tanah warga dirampas, di pasangi plang dan di klaim sebagai aset atau kepemilikan Pemerintah Daerahnya”
Poso NP – Perlindungan hak warga Negara sesuai yang di amanatkan dalam Pancasila dan UUD 45 serta upaya-upaya perlindungan atas hak-hak keperdataan warga negara lewat konvensi dan prona (sertifikat) yang di upayakan Jokowi tersinyalir tidak berlaku di Kabupaten Poso.
Buktinya dugaan pencaplokan dan perampasan hak-hak tanpa hati seperti ini tersinyalir masih menimpa salah seorang warga Bada tepatnya di Desa Bomba, Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso dari keluarga Weiha bernama Yustin Weiha (52) yang kesehariannya berjualan sembako di tanah yang saat ini telah dipasangi plang oleh pemerintah daerahnya tersebut.
Terkait fakta sejarah hingga perampasan hak keperdataan yang diduga dilakukan Pemda Poso atas tanah warga itu sendiri sebenarnya bermula sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980an ketika dunia transportasi masih sulit dan orang-orang termasuk para guru yang ditugaskan ke wilayah Bada terpaksa harus berjalan kaki dan atau menggunakan kuda.
Para petugas guru itu sendiri ketika tiba di Bada umumnya ditampung di rumah-rumah penduduk atau rumah-rumah darurat yang jaraknya tidak jauh dari lokasi sekolah.
Salah satunya di tanah di depan SDN Bomba yang saat ini diduga di sabotase Pemda Poso dan sudah di pasangi plang kepemilikan bertuliskan “Tanah Milik Pemerintah Daerah Poso” (sesuai yang tertera dalam dokumen gambar) yang diambil Nuansa Pos pada minggu pertama awal Januari 2020 lalu.
Plang Pemerintah Daerah Poso dengan nomor-nomor kosong yang dipasang tanpa sepengetahuan ahli waris pemilik tanah.
Kembali ke sejarahnya semula sehingga tanah tersebut dianggap sebagai milik pemerintah sebenarnya dilatarbelakangi karena guru-guru yang di kirim ke Bada itu akan bertugas agak lama dan tidak enak hati tinggal berlama-lama di rumah tumpangan orang yang sudah berkeluarga sehingga atas inisiatif Kepala Desa, Soleman Tokare (alm) yang menjabat saat itu terpaksa meminjam sebidang tanah milik Rupia Weiha (almarhum) untuk ditinggali para guru dan kepala sekolah yang menjabat saat itu.
Rencana pinjam pakai yang kemudian di setujui Rupia Weiha itu sendiri juga ikut diketahui oleh (alm) Dame Tokare sebagai Kaperdis (Kepala Perwakilan Dinas) yang membawahi wilayah pendidikan di Bada saat itu.
Namun entah bagaimana kelanjutannya, tanah milik Rupia Weiha yang sejak beberapa tahun lalu kembali ditempati oleh pewarisnya itu tiba-tiba dipasangi plang dan diklaim sebagai tanah tanah milik pemerintah daerahnya sendiri.
Pemasangan plang secara sepihak itu sendiri tak urung membuat pemilik tanah bingung namun karena hanya seorang rakyat kecil sehingga korbanpun tidak bisa berbuat apa-apa.
Surat pernyataan adanya pinjam pakai tanah yang diteken mantan Kaperdis, Alm. Dame Tokare yang di teken pada tahun 2016 lalu.
“Berdasarkan sejarahnya tanah ini milik orang tua kami yang dipinjampakaikan dan tidak pernah diperjual belikan kepada siapapun juga. Tapi tiba-tiba dipasangi plang sebagai milik pemerintah daerah. Ini pemerintah yang harusnya melindungi malah menjadi sebaliknya,” ungkap Yustin Weiha kepada Nuansa Pos Minggu (5/1) kemarin.
Sementara Kepala SDN Bomba, Rut Ane Tokare kepada Nuansa Pos yang menghubunginya via HP mengaku tidak pernah melihat sertifikat dari tanah yang diklaim Pemda tersebut.”Saya juga tidak tau dan tidak pernah ditunjukan sertifikatnya,”ujarnya (NP05)