Dinilai Tak Wajar, Warga Minta Oknum Bupati di BMR Wajib Klarifikasi Sumber Kekayaan

0
108

Manado,Nuansapos.com – Fenomena pejabat punya harta tak wajar belakangan sedang jadi sorotan. Pasalnya, sebagian dari mereka cenderung memamerkan kekayaannya di ruang publik.

Hal tersebut nyatanya mengusik nurani. Alhasil, rincian kekayaan para penyelenggara di Sulawesi Utara (Sulut) ikut dikulik masyarakat.


Dimulai dari para kepala daerah di Bolaang Mongondouw Raya (BMR). Rincian harta mereka didapat berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublish Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tampak Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara memiliki harta terbesar. Per 31 Desember 2021, Tatong mengoleksi harta kekayaan mencapai Rp13,2 miliar. Sementara yang paling sedikit dimiliki Pj Bupati Bolmong Limi Mokodompit, yang tercatat memiliki harta kekayaan senilai Rp1,2 miliar.

Yang menarik, nilai harta Bupati Bolaang Mongondouw Timur (Boltim) Sam Sachrul Mamonto. Alul, sapaan akrabnya memiliki total harta kekayaan mencapai Rp6 miliar. Dia memiliki uang tunai senilai hampir Rp2,5 miliar padahal baru dua tahun menjabat.

Kas dan setara kas milik mantan Ketua KPU Boltim itu, paling banyak di antara para kepala daerah lain di BMR. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Tatong yang paling besar hartanya. Karena punya banyak aset. Tapi uang tunainya hanya Rp1 miliar.

Kas milik Alul dirasa kurang wajar. Pasalnya, gaji dan tunjangan kepala daerah yang bila dikumpul selama dua tahun, tidak akan sampai Rp2 miliar. Kecuali gaji dan tunjangannya Rp100 juta tiap bulan. Bisa jadi masuk akal Rp2 miliar terkumpul.

“Sebagai pejabat publik, perlu adanya klarifikasi dari yang bersangkutan. Agar tidak memunculkan klaim tendensius dari masyarakat,” ujar warga Boltim yang enggan namanya dikorankan.

Pejabat punya harta tak wajar memang sedang jadi perbincangan hangat. Kredibilitas para penyelenggara negara pun ikut dipertanyakan.

Pengamat hukum Toar Palilingan berpendapat, tidak ada yang salah bila pejabat kaya. Namun perlu diukur kewajarannya. Sebab menurut dia, ada pejabat yang punya harta kekayaan tidak hanya bersumber dari pekerjaannya sebagai penyelenggara negara. Contohnya, seperti warisan orang tua ataupun usaha yang dijalankan anggota keluarga yang lain. “Karena kan dalam LHKPN, kekayaannya tidak hanya yang dimiliki secara pribadi, tetapi juga keluarga terdekat, misalnya istri atau suami,” jelasnya.

Tapi lanjut dia, harta kekayaan dengan nilai besar yang dimiliki seorang pejabat tetapi tidak jelas sumbernya perlu dipertanyakan. Peran serta masyarakat penting dalam hal tersebut. Agar bisa meminimalisir potensi KKN.

“Karena memang untuk korupsi sekarang itu susah. Hanya saja ada oknum-oknum tertentu yang memang sudah punya niat jahat jadi tetap melakukan. Contohnya saja korupsi dana Covid, padahal itu untuk kemanusiaan tetapi tetap saja dikorupsi,” tuturnya mencontohkan.

Olehnya, seleksi pejabat pada tatanan tertentu wajib dilakukan secara selektif. Seorang pimpinan perlu menjadikan kepatuhan jajarannya untuk transparan sebagai salah satu dasar dalam memberikan promosi ataupun jabatan tertentu. “Karena dengan begitu, potensi untuk penyimpanan bisa diminimalisir,” terangnya.

Di sisi lain, Pengamat politik pemerintahan Ferry Liando menerangkan, yang disebut tidak wajar tentu dihitung dari jumlah pendapatan resmi dengan jumlah harta yangdi miliki selama memegang jabatan. Jika itu sesuai maka dinilai wajar. Namun jika terjadi ketidaksesuaian maka perlu ditelusuri. Namun demikian, walaupun terjadi ketidaksesuaian maka perlu dicermati apakah ada pekerjaan lain selain dalam jabatan pemerintahan, harta warisan ataupun terjadi kenaikan harga aset dari ketika mengisi LHKPN dengan harga saat ini.

Baginya, memang terdapat beberapa kekurangan dalam hal pengisian LHKPN. “Kekurangan itu adalah ketiadaan sanksi hukum. Misalnya apakah yang tercatat dalam LHKPN itu adalah sesuai keadaan harta yang sebenarnya. Jika tidak sesuai fakta, maka tidak ada konsekuensi hukum,” ujarnya.

Sehingga wajar jika ada sebagian oknum pejabat diduga memanipulasi laporan. Tidak ada juga instrumen laporan yang memintakan pejabat untuk melaporkan asal muasal harta yang dimiliki.

Kala ditanya terkait adanya sikap yang makin selektif dari parpol sebelum mengusung calon di Pilkada, Liando berpendapat idealnya memang diperlukan rekam jejak tokoh dalam hal asal muasal harta kekayaan.

“Idealnya bagitu. Cuma tidak arti apa-apa. Jika ada penyimpangan sama dengan membocorkan kelemahan kader ke publik. Kalaupun ada parpol yang berani, tidak akan mempengaruhi faktor elektoral. Sebab mayoritas pemilih sekarang cenderung pragmatis,” tukasnya.NP/ManadoPost

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here