Oleh: Jonson Rajagukguk SSos MAP.
Menguatnya ideologi pragmatisme dalam dunia politik kita merupakan sebuah bukti bahwa sifat egois, individualis, menang sendiri, berpikir sektarian adalah musuh utama penghalang kemerdekaan kita saat ini. Oleh para filsuf dari Tiongkok dengan tegas dan bijaksana mengatakan musuh terbesar manusia bukanlah orang lain, tetapi dirinya sendiri (Man’s greatest enemy is not someone else, but himself).
Berangkat dari pemahaman ini sesungguhnya keserakahan, hedonisme, korupsi, ketamakan, menang sendiri adalah penyakit yang kata kuncinya datang dari diri kita sendiri. Bagaimana mengatasinya tentu bukanlah orang lain sebagai solusi, tetapi diri sendiri. Artinya, penegakan hukum yang kuat, desain pendidikan hanyalah sebuah instrumen untuk membangun karakter, tanpa ada kemauan untuk berubah (will change) dari diri sendiri tentu semuanya itu akan sulit. Pakar manajemen perubahan dari UI, Prof Dr Rhenald Khasali mengatakan, kalau tidak mau berubah, ya digilas zaman.
Setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin terpilih sebagai Presiden RI melalui proses politik yang panjang dan sampai pada Mahkamah Konstitusi, terjadi “pergeseran isu” (issue shifting) saat ini. Fokus para politisi saat ini adalah melirik apakah kadernya parpol bisa masuk menteri atau tidak. Menteri adalah muara dari koalisi yang dibangun dalam sistem politik. Saat ini diskusi mengenai jatah menteri sudah semakin menguat. Dalam kongres PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan jelas, bahkan tegas mengatakan jatah PDI-Perjuangan harus lebih banyak sebagai pemenang pemilu dan pengusung utama Jokowi. Bahkan Ibu Mega dengan gamblang mengatakan seharusnya PDI-P bisa dapat 6 jatah menteri. Apakah salah statment Ibu Mega tersebut? Sah-sah saja. Dalam alam demokrasi kebebasan mengemukakan pendapat selalu mendapat jaminan.
Yang jadi permasalahan, seperti apa kabinet yang kita butuhkan di tengah arus kemajuan (flow of progress) zaman saat ini. Para ahli menyebut era sekarang ini dengan berbagai istilah. Ada yang mengatakan era millenial, era internet generasi kelima, era disruptif, era Industri 4.0, bahkan ada juga memulainya dengan era millenium ketiga (1999). Semua jaman yang disebutkan di atas tentu berkorelasi dengan kemajuan sebuah bangsa.
Kata Kunci
Apapun istilah yang dipergunakan oleh para pakar tersebut dalam menyikapi zaman, kompetensi, komitmen, inovasi, kreasi, produktivitas adalah kata kunci untuk bisa menghadapinya. Saat ini istilah revolusi industri 4.0 sudah jadi “tranding topic”. Istilah Industri 4.0 saat ini terus jadi bahan diskusi yang sangat menarik. Di mana-mana orang membuat seminar dengan topik industri 4.0. Ada yang membuat diskusi mengenai peran guru di era Industri 4.0, peran rohaniawan di era industri 4.0, gereja di era Industri 4.0, perguruan tinggi di era indutrsi 4.0. Semua topik di atas merupakan konsekuensi dari kemajuan zaman yang harus dihadapi kalau tidak ingin jadi penonton.
Masalahnya dalam konteks pemerintahan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk bisa sukses menghadapi indutrsi 4.0? Bukankah era ini menuntut inovasi tingkat tinggi di level maksimal kalau kita ingin jadi pemain utama? Dalam hal inilah elite politik harus berkaca, menyadari, dan perlu melakukan permenungan bahwa zaman ini bukan zaman coba-coba. Zaman ini membutuhkan komitmen, menuntut inovasi, menuntut kerja keras. Dengan melakukan pengacaan diri tentu semua kita akan berhati-hati dalam membuat wacana, secara khusus bagi parpol yang menginginkan jatah di kementerian sebagai lokomotif perubahan. Sementara kementerian adalah ujung tombak dan pembantu presiden menghadapi industri 4.0 yang medan tempurnya sangat rumit. Dalam hal inilah “profesionalisme habis” (exhausted professionalism) sangat dibutuhkan dalam membangun kabinet yang hebat dan mampu “membaca” tanda-tanda zaman.
Saat ini “gerak kemajuan” pendidikan rakyat makin bagus. Bayangkan dalam kasus angkutan online seperti Gojek dan Grab bisa mengalahkan negara dalam hal ini Dinas Perhubungan. Pergerakan teknologi digital yang dilakukan oleh masyarakat membuat Dinas Perhubungan kelabakan, kalau tidak ingin malu dikatakan kalah. Ini adalah sebuah gambaran betapa kompetensi dan keahlian adalah modal utama (main capital) yang tidak bisa ditolerir lagi.
Saat ini bangsa kita tengah berada pada usia yang ke 74. Tentu bukan usia yang muda, tetapi sudah cukup matang, bahkan kalau bisa dibilang sudah tua. Lantas, dengan usia kemerdekaan kita yang saat ini pada usia ke 74, apa capaian yang sudah kita raih dengan melakukan perbandingan dengan negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia? Tanpa melakukan studi banding saja kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kedua negara tetangga ini unggul (superior) dari kita dalam semua hal. Kita masih bicara pada level Asia Tenggara, belum dengan negara Jepang, Korea Selatan, atau Eropa.
Malaysia dan Singapura dalam hal pendidikan, kualitas pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi, mutu lulusan perguruan tinggi, tata kelola UKM, penegakan hukum kita kalah dengan mereka. Mereka sangat serius dalam mengelola negaranya. Sangat beda dengan kita yang saat ini masih mencari formula bernegara yang baik dan benar. Artinya, proses berbangsa dan bernegara yang kita jalankan belum mampu menjawab tantangan jaman, menjawab kebutuhan rakyat (answer the needs of the people ) saja sampai saat ini masih sulit. Tetapi setelah Jokowi terpilih jadi Presiden harus kita akaui banyak capaian yang kita perolah sebagai sebuah bangsa. Arah bernegara kita sudah menunjukkan indikator yang bagus. Penataan negara perlahan mulai makin bagus. Pembangunan infrastruktur yang jelas dengan menggunakan APBN dan APBD mulai menunjukkan kinerja yang cukup bagus. Untuk melanjutkan tren pemerintahan yang positif ini tentu butuh menteri yang profesional. Kita butuh menteri yang sangat kompeten dalam mengurus negara.
Kompetensi menteri tentu harus didukung oleh komitmen kebangsaan yang kuat. Dalam hal inilah sebenarnya presiden harus diberikan berimprovisasi dalam memilih menterinya. Artinya, menteri yang terpilih haruslah terukur, teruji, punya kompetensi dan mampu membangun visi kebangsaan yang kolektif kolegial dengan melihat peluang jauh ke depan. Dalam hal inilah kabinet kompeten dan visioner adalah solusi menghadapi industri 4.0 di tengah usia bangsa ini sudah mencapai 74 tahun.
Untuk inilah parpol perlu menyadari dan berkaca siapa dirinya. Saatnya parpol iklas dan tulus, siapapun menteri yang terpilih asalkan punya visi, kompetensi, komitmen terhadap bangsa inilah yang didahulukan, sekalipun dalam politik yang sangat riil ini sangat sulit terwujud karena minus kenegarawanan parpol sudah berada pada titik nadir, sementara surplus dalam hal pragmatisme.
Penutup
Era industri 4.0 adalah sebuah zaman yang menuntut inovasi (demand innovation), kreasi, kompetensi, dan komitmen. Kalau kita ingin jadi pemain atau aktor utama tata kelola negara harus diberikan pada ahlinya, bukan dengan coba-coba. Kabinet Kerja yang kita inginkan harus datang dari proses yang baik dan benar. Hak prerogatif Presiden harus kita dahulukan dalam memilih kabinet yang ahli dan punya komitmen. Jangan sandera presiden dengan alasan balas jasa pada Pilpres 2019.
Ingat, yang memilih presiden adalah rakyat dan bukan parpol. Dalam hal inilah kabinet yang ahli, punya komitmen, visioner adalah solusi untuk mengatasi tantangan zaman di era industri 4.0 sebagai perenungan khusus bagi kita semua di usia yang ke 74 ini. Dirgahayu HUT RI ke -74. Merdeka….Merdeka…Horas NKRI. ***
Penulis Pengajar Tetap Administrasi Publik FISIP Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan/Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unimed.