Oleh: Andryan, SH., MH
Pers sebagai kekuatan demokrasi dan menjadi penopang bagi pilar-pilar demokrasi lainnya seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di saat pilar-pilar lainnya lumpuh, maka pers diharapkan akan tampil di depan untuk menyelamatkan tegaknya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara demokrasi. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, yaitu adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara penganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi secara merata. Untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan serta independensi dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang.
Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Pengertian kemerdekaan pers itu mencakup dua hal. Pertama, adalah struktur (freedom from) yaitu kemerdekaan pers dipahami sebagai kondisi yang diterima oleh media sebagai hasil dari struktur tertentu. Negara disebut bebas apabila tidak ada sensor, bebas dari tekanan pada jurnalis, bisa independen di tengah pengaruh lingkungan ekonomi termasuk kepemilikan, tak ada aturan hukum yang mengekang kemerdekaan pers, bebas dari tekanan sosial dan politik. Kedua, adalah performance (freedom to) yaitu bahwa kebebasan pers juga diukur dari bagaimana cara pers menggunakan kemerdekaan tersebut. Misalnya apakah liputan media telah jujur dan adil (fair), mengungkapkan fakta yang sebenarnya, membela kepentingan publik, dan sebagainya.
Bagir Manan (2016:40), mengatakan pers dalam tatanan demokrasi, dengan ciri dasar pers dalam demokrasi yaitu kebebasan dan independensi. Ada beberapa karakteristik pers bebas dan independen (dalam demokrasi). Pertama; tidak ada pers yang menjadi organ resmi negara atau pemerintah. Kalaupun ada lembaga pers di bawah naungan negara atau pemerintah, harus diletakkan dalam status hukum (diberi status hukum) yang mandiri terpisah atau terlepas dari kendali administrasi pemerintah (penyelenggara pemerintahan). Sebagai pranata demokrasi, pers ini bersifat otonom (mengatur dan mengurus diri sendiri). Dalam khazanah otonomi, pers semacam ini menjalankan otonomi fungsional (functioneele autonomie). Dalam status hukum semacam itu, pers yang berada di bawah naungan negara atau pemerintah dapat menjalankan fungsi jurnalistik (jurnalisme) bebas dan independen. Kedua; pada saat ini ada diskursus yang berkelanjutan mengenai substansi “kebebasan pers” dan “independensi pers”. Di masa lalu, dua persoalan tersebut semata-mata dalam konteks politik (pers dikuasai penguasa politik, pers di bawah tekanan penguasa politik, pers dikenai berbagai pembatasan yang bersifat preventif dan represif).
Persoalan kebebasan dan independensi bertalian dengan pers sebagai industri (pers sebagai usaha ekonomi). Pemilik (modal) pers dapat sangat mempengaruhi kebebasan pers dan independensi pers baik secara politik atau ekonomi. Dalam makna politik, kepemilikan (modal) pers dapat terpengaruh oleh peran politik pemilik (modal) pers. Dalam makna ekonomi, kebebasan dan independensi pers bertalian dengan pers sebagai usaha pencari laba. Hal yang menjadi sorotan pers sejak memasuki rezim reformasi di Indonesia, yakni makna kebebasan dan independensi. Pertama; tentang kebebasan pers. Lazim juga disebut kemerdekaan pers (freedom of press). Kebebasan diartikan sebagai “diperbolehkan (tidak dilarang) melakukan segala sesuatu sepanjang tidak melanggar kebebasan orang lain”. Artinya, sekali-kali tidak dibenarkan seseorang atas nama kebebasan bertindak yang akan membatasi, menghalangi atau menghilangkan kebebasan orang lain.
Secara normatif, kebebasan diartikan sebagai diperbolehkan melakukan segala hal sepanjang tidak dibatasi oleh hukum. Dalam hal ini sekaligus termuat makna, diperbolehkan tidak melakukan sesuatu sepanjang tidak diwajibkan oleh hukum. Untuk pers, pengertian normatif tersebut ditambah dengan: “diperbolehkan memuat atau tidak memuat suatu berita sepanjang tidak bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik.” Selain itu, berlaku pula prinsip self cencorship atas dasar pertimbangan kepentingan atau kemaslahatan publik, sistem nilai yang hidup dan dijunjung tinggi masyarakat dan rasa keadilan (sense of justice). Kedua; tentang independensi. Dalam sejumlah diskusi, acap kali ada yang menyamakan independensi dengan netral, atau setidak-tidaknya, salah satu unsur independensi adalah netralitas. Benarkah demikian? Benar, dalam arti sebagai salah satu kemungkinan pilihan independensi, tetapi independensi tidak identik dengan netral karena itu tidak dapat dipergunakan seolah-olah interchangeable.
Independensi adalah salah satu wujud freedom (kemerdekaan, kebebasan). Salah satu wujud absolut kebebasan adalah kebebasan untuk memilih atau menentukan pilihan (freedom of choice). Dalam suatu lingkungan yang menjamin kebebasan seperti demokrasi, ketersediaan atau penyediaan berbagai pilihan merupakan ciri dan merupakan kemestian. Dalam independensi yang menjamin freedom of choice, termasuk pula kebebasan berpihak (taking a side). Hal ini berlaku pula pada pers independen. Tidak mungkin melarang pers untuk bebas mempunyai pilihan, sepanjang pilihan itu tidak melanggar batas-batas yang ditentukan oleh hukum, tidak melanggar kewajiban-kewajiban etik (yang diatur Kode Etik Jurnalistik), dan tidak melanggar asas-asas dan tradisi pers demokratis, serta senantiasa mengingat pers sebagai institusi publik yang harus bekerja untuk kepentingan dan menjaga kepercayaan publik.***
Penulis adalah Dosen FH.UMSU. Sekretaris Pusat Kajian Konstitusi UMSU