PALU, NP – Menangapi opini yang beredar Bebarapa hari lalu yang termuat di sejumlah media Online maupun media cetak terkait tanggapan Mantan hakim Mahkamah Konstiusi, Maruar Siarai tentang kasus Hoax Yahdi Basma.
Fahriyanto S. Maso’ama sebagai Ketua Gerakan Milenial Peduli Sulteng(GMPS) yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu, mengganggap hal tersebut sebagai statement yang salah kaprah.
Karena menurutnya, ada beberapa poin yang disampaikan matan hakim MK itu keliru dan tidak logis.
Diantaranya Seperti Pasal 338 Undang-Undang MD3 menyebut bahwa anggota DPRD tidak dapat dituntut karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD Provinsi maupun di luar rapat DPRD Provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD Provinsi.
Berbcara tentang hak imunitas, dalam UUD 1945 Tentang Imunitas Anggota DPR saja dan tidak menjelaskan bahwa hak imunitas terhadap Anggota DPRD provinsi kabupaten/kota. Kemudian juga Undang-Undang MD3 perlu kita ketahui bahwa hanya berlaku untuk anggota DPR saja tetapi tidak lagi berlaku untuk anggota DPRD Provinsi Kabupaten/Kota karna telah di atur dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Dareh yang sudah ditegaskan dalam pasal 409 huruf d). Pasal 1 angka 4, pasal 314 sampai dengan pasal 412 pasal 418 sampai dengan 421 Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Kemudian mengenai hal fungsi dan wewenang Anggota DPRD telah di atur dalam UU no 23 tahun 2014 Dalam pasal 96 ayat 1) huruf C adalah Pengawasan. Fungsi pengawasan ini telah di tegaskan dalam pasal 100 ayat 1) huruf a. Pelaksanaan Perda provisnsi dan peraturan gubernur. Huruf b. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan huruf c. Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan. Dengan demikian jelas apa yang menjadi fungsi DPRD. Apabila penyebar Hoax dan fitnah tidak logis dan sesat fikir jika di artikan sebagai bagian dari kritik, pernyataan, pendapat yang melekat hak Imunitasnya.
“ Pada kasus ini, kita harus melihat dari triminologi hukum yang objektif. Karena kasus Hoax ini murni fitnah kepada pribadi Longki Djanggola bukan sebagai gubernur. Dan ini murni kasus pidana karena menjatuhkan harkat martabat seseorang berupa pencemaran nama baik yang telah di atur dalam UU ITE pasal berlapis yakni pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 1) junto pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. apalagi bapak Longki Djanggola selain dia Gubernur sulawasi tengan dia juga adalah tokoh masyarakat sebagai keturunan Raja kota palu yang sangat di hormati,” tandasnya.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 menyatakan ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Dengan demikian kita harus memahami bahwa tidak ada satupun di Republik ini yang kebal terhadap hukum.
Dan harus dipahami bahwa kebebasan, Sebagaimana yang di tegaskan Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28J Ayat 2).
“Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan makud semata-mata utuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denga pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat Demokratis.”
“ Saya menilai, Mantan hakim MK Maruar Siarai sebagai salah satu tokoh yang banyak orang meyakini pendapat hukumnya benar. Seharus lebih objektif dalam melihat kasus ini. Jangan sampai orang beranggapan bahwa mantan hakim MK tidak faham terhadap perubahan aturan dan dalam memberikan tafsiran terhadap undang-undang yang ada. Karena hal ini akan membuat orang sesat berfikir dalam memandang satu konteks permasalahan hukum,” pungkasnya.(NP)